Sabtu, 21 April 2012

Kisah Raja UTi


Ketika Sibasoburning hendak melahirkan, berkicaulah burung Patiaraja di dahan Pohon Beringin Tumburjati, beterbangan pula hulis-hulis, petir bergelegar, tibalah waktunya lahirlah anaknya laki-laki. Tetapi ada kekurangannya, karena kaki dan tangannya pendek bahkan hampir tak kelihatan.
Maka Sibasoburning pun menangis melihat anaknya itu, tetapi dia dihibur Gr Tateabulan, karena Mulajadinabolon sudah terlebih dahulu memberitahu hal itu kepadanya bahkan sejak dia membuat parit perlindungan kampungnya.
Merekapun membesarkan anak itu, dia cepat besar dan berbicara, tetapi nggak bisa duduk, dia hanya tidur-tiduran seperti miok-miok, itulah sebabnya dia disebut Siraja Miok-miok, yang lain menyebutnya Siraja Gumeleng-geleng.
Setelah Siraja Miok-miok besar, dia minta kepada Ibunya Sibasoburning agar dia diantar ke Pucuk gunung Pusukbuhit, biar dia bisa martonggo (berkomunikasi) dengan Mulajadi Nabolon. Maka dia diletakkan Ibunya di bawah pohon Piu-piu Tanggule biar kalau buahnya jatuh ada buat makanannya. Dia juga diberi Pungga haomasan, biar ada buat dijilat-jilat apabila dia lapar. Di tempat itulah Siraja Miok-miok martonggo Siraja Miok-miok biar Mulajadi Nabolon berkenan melengkapi keadaan tubuhnya. Mulajadi Nabolon pun meluluskan permintaannya, tangannya dan kakinya pun makin panjang, tetapi tumbuh juga ekornya seperti ekor bajonggir dan ada pula kulit tipis nenyambung ruas tangan dan kakinya seperti sayap kelelawar.
Siraja Miok-miok kemudian martonggo. Kenapa dia bernasib seperti itu, dulu ada kekurangannya, tetapi sekarang jadi lebih. Mulajadi Nabolon menjelaskan bahwa tubuhnya harus seperti itu supaya dia tidak bisa bergaul dengan manusia, karena dia akan jadi Malim yang dapat meneruskan permintaan manusia kepada Mulajadi Nabolon dan menyampaikan pesan Mulajadi Nabolon kepada manusia. Itulah sebabnya dia digelar Raja Hatorussan atau Raja Uti.
Maka Gr Tateabulan mendirikan tempat perteduhannya di pohon Piu-piu Tanggule itu. Maka dia ditemani ular bagandingtua dan bujonggir, untung2 besar, burung layang-layang mandi. Tidak ada lagi yang bisa melihat Raja Hatorusan selain Gr Tateabulan, Ibunya Sibasoburning dan adiknya Tn. Sariburaja.
Sariburaja mencari Raja Uti sampai ke puncak Pusukbuhit dan dia melihat sudah ada isterinya yang bernama Siboru Lindungbulan, borunya Tn. Bataraguru. Maka diberitahukanlah kepada Sariburaja bahwa nama Raja Uti sudah diganti Mulajadi Babolon menjadi Raja Hatorusan, raja so haliapan raja so halompoan. Dipesankan agar ada keturunan Sariburaja yang mengambil nama Raja Hatorusan, karena dia akan pindah dari situ ke tempat yang akan ditentukan oleh Mulajadi Nabolon. Sejak itu tidak ada orang yang melihat Raja Hastorusan akan tetapi berita mengenai dia tersebar ke mana-mana. Dia disebut tidak bisa mati dan tidak bisa tua.
Setelah tiba waktunya yang ditetapkan Mulajadi Nabolon, Raja Uti pun terbang atau pindah ke Ujung Barus yang juga bernama Ujung Aceh karena persis di perbatasan Aceh dan Barus, di tengah2 Aek Uti kanan dan Aek Uti kiri. Disitulah didirikan rumah persaktian dan mimbar persembahannya. Hanya Raja Uti yang tinggal di tempat itu dikelilingi ulubalangnya (pengawal2nya), merekalah yang meneruskan perintah dan yang menyampaikan berita kepada Raja Uti kepada kerajaannya. Sekeliling perkampungan itu ada 3 lapis penjaga. Lapis paling dalam adalah macam-macam yang punya sengat yang punya sayap sseperti daldal, harinuan, altong, naning dll (sejenis lebah/tawon), lapis kedua binatang-bilnatang berbisa seperti kala, lipan, bermacam-macam ular berbisa, dll. Lapis paling luar adalah binatang buas seperti harimau, beruang, gajah, dll. Juga di Aek Uti kanan dan kiri dan ke arah laut ada buaya putih.
Tidak ada orang dalam kerajaannya itu yang bisa me.lihatnya akan tetapi berita mengenai Raja Uti tersebar ke mana2. Semua orang dalam kerajaannya mematuhi perintahnya dan pesannya. Jika ada bencana, kemarau panjang, menjauhkan penyakit maka Raja Utilah utusan martonggo kepada Mulajadi Nabolon.
Manusia yang dalam kerajaannya percaya bahwa. Raja Uti tidak bisa mati dan tidak bisa tua karena tidak ada yang bisa melihatnya. Tetapi dari kepala pengawalnya kemudian ada cerita yang bocor yang mengatakan bahwa kerajaan Raja Uti sudah berganti bbrp kali tetapi nggak ada yang tau pergantiannya. Beginilah ceritanya:
I. Raja Miok-miok, Raja Hatorusan, Raja Uti I, isterinya br. Lindungbulan.
II. Dt. Pejel, Raja Uti II, karena cepat meninggal kerajaannya digantikan isterinya yang digelar Raja Uti III.
III. Dt. Borsak Maruhum, anak Dt Pejel yang kemudian menjadi Raja Uti IV.
IV. Dt. Alongniaji, yang digelar Raja Uti V
V. Gr. Longgam Pamunsak, digelar Raja Uti VI
VI. Dt. Mambang Diatas yang mengambil isteri br. Mompul Sohapurpuran, kemudian menjadi Raja Uti VII, yang terakhir dan yang memberikan kerajaannya dan kesaktiannya kepada Raja Humuntal, Si Singamangaraja I.       
Si Singa Mangaraja berselisih paham dengan namborunya Nai Hapatian dari Muara dan Nai Paltiraja dari Urat. Kata namborunya: “Asalkan kamu nggak bawa gajah saja, kalau bedil yang kamu bawa ada juga lawannya bedil!”
Maka pergilah Si Singa Mangaraja mencari kampungnya Raja Uti ke Barus karena dia tahu ada gajah putih di sana. Semua Pengawal Raja Uti merasa heran karena Si Singa Mangaraja bisa sampai ke sana, melewati penjagaan yang begitu ketat yaitu melewati pasukan gajah, harimau, ular dan binatang2 berbisa dan penyengat karena belum pernah ada orang yang bisa melewatinya. Datanglah br. Mompul Sohapurpuron menemui rombongan Si Singa Mangaraja dan memberitahukan bahwa Raja Uti sudah 4 hari pergi berlayar (marparau), tetapi mereka disuruh duduk di tengah halaman agar mereka makan dulu sebelum pulang.
Tetapi Si Singa Mangaraja tidak begitu saja percaya, dia pikir Raja Uti paling pergi ke bagian atas rumahnya (songkor); jadi dia menyuruh anak buahnya agar disediakan sayur ubi untuk makanannya walaupun sudah disediakan makanan dan lauk buat mereka di bawah.
Isteri Si Singa Mangaraja mengajak Si Singa Mangaraja makan di dalam rumah sedangkan rombongannya tetap makan di halaman rumah. Sambil duduk di atsas tikar yang disediakan, Si Singa Mangaraja bersandar ke tiang. Setelah makanan dltersedia dia mengambil sayur ubi itu sambil melirik ke atas (songkor) maka dia pun saling pandang dengan Raja Uti, karena Raja Uti juga ingin melihat apakah Si Singa Mangaraja mau memakan sayur ubi tsb. Akhirnya Raja Uti turun dari atas dan mereka pun bercakap-cakap.
Si Singa Mangaraja memberitahukan niatnya untuk meminta gajah satu ekor untuk dipelihara. Raja Uti berkata: “Boleh saja saya memberikannya asalkan kamu sendiri yang menarik talinya, dan kamu harus memenuhi permintaan saya.”
Carilah untuk saya:
1. Satu kerbau tunggal, Sihalung dan punya gigi di atas.
2. Satu daun lalang, lebarnya selebar daun talas,
3. Satu pungga yang berbulu.
4. Satu lote (burung puyuh) yang berekor.
5. Satu tali kuda yang terbuat dari pasir.
6. Seekor kambing tunggal bertanduk 7.
7. Seorang manusia yang daun telinganya bisa ditarik menutupi kepalanya dan susunya bisa diparsabe-sabe.
Maka pergilah Si Singa Mangaraja mencari permintaan Raja Uti dia pun menemukan puyuh yang berekor di Pangururan Samosir, manusia yang bisa menutupi kepalanya dengan kupingnya dari Uluan, Tali Pasir dari R. Sijorat Sitorang, pungga yang berbulu dari Laguboti, daun alang2 selebar daun talas dari Sianjur Humbang dan seekor kerbau tunggal sihalung yang bergigi di atas dari Silindung. Dia membawa semuanya ke hadapan Raja Uti sambil menerangkan artinya satu persatu.
Karena dia sanggup melaksanakan semua permintaan Raja Uti maka dia diberkati Raja Uti karena ternyata dia benar-benar Raja yang diminyaki dan dipilih Mulajadi Nabolon. Disampaikanlah pusaka kerajaan kepada Si Singa Mangaraja, yaitu: Pisau Gajah Dompak, Pisau Salam Debata yang menjadi pusaka Raja Si Singa Mangaraja turun-temurun, tiksar keemasan, tabu2 sitarapullang, bunga yang tak bisa layu.
Mereka pun mengadakan perjanjian bahwa Si Singa Raja tidak akan memberitahu rupa atau tampang Raja Uti kepada siapapun. Kalau janji tsb dilanggar maka tabu2 sitarapullang akan kembali kepada Raja Uti yang berarti dari mana dia datang ke situlah dia pulang. Setelah mereka sepakat turunlah Si Singa Mangaraja ke halaman rumah, dia pun mengajak rombongannya mengikat gajah itu dan pulang ke Bakara.
Tetapi di tengah jalan sebelum mereka sampai ke Bakara, tanpa sengaja Si Singa Mangaraja membisikkan kepada si Raja Sijorat tampang Raja Uti, sehingga tabu-tabu sitaratullang terbang kembali kepada Raja Uti. Tersebarlah berita itu ke semua daerah, berakhirlah kerajaan Raja Uti dan Si Singa Mangaraja pun menggantikannya jadi Raja Batak.
** Buku Karangan, A.H. Pasaribu