Sabtu, 21 April 2012
Segambar Dengan Allah
1. Manusia dalam Rupa dan Gambar Allah
2. Tanpa Dosa dan Fana
3. Logika, Allah, dan Manusia
Doa
KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA
"Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka." (Kej. 1:27)
Pengertian apologetika alkitabiah terletak pada pandangan yang tepat
akan kebenaran mengenai karakter manusia. "Kenalilah dirimu sendiri"
merupakan semboyan yang sangat populer di kalangan para pemikir sejak
awal permulaan sejarah filsafat. Pengetahuan tentang diri sendiri akan
melengkapi manusia untuk dapat melaksanakan berbagai macam tugas di
dunia ini dengan lebih baik.
Alkitab melihat sejarah dunia dan manusia dalam tiga tahap --
penciptaan, kejatuhan, dan penebusan. Manusia diciptakan, lalu jatuh
dalam kutuk dosa, kemudian ditebus dengan kematian dan kebangkitan
YESUS KRISTUS. Sejajar dengan tiga macam perspektif ini, kita akan
mengamati karakteristik manusia dalam tiga kategori. Dalam pelajaran
ketiga ini, kita akan mengamati manusia sebelum kejatuhan. Dan dalam
dua pelajaran berikutnya, kita akan mempelajari manusia yang telah
jatuh dalam dosa dan manusia yang telah ditebus.
1. Manusia dalam Rupa dan Gambar Allah
Penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah merupakan
karakteristik penting yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain
(Kej. 1:27). Fakta ini memunyai banyak sekali implikasi yang dapat
kita pelajari. Kita harus membatasi diri kita sendiri dalam hal ini
dengan hanya mempelajari sebagian dari makna manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah.
Dari luar, manusia seperti Allah dalam hal kemampuan dan
karakteristiknya secara fisik. Dari dalam, manusia dapat berpikir dan
mengembangkan pemikirannya di mana dalam hal ini hanya manusia yang
dapat melakukannya. Keunikan lain yang dimiliki manusia sebagai
makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah jiwa yang
bersifat kekal (Kej. 2:7). Lebih dari itu, manusia sebagaimana
Penciptanya, telah dijadikan penguasa atas bumi ini. Sebagai wakil
Allah, ia menggali dan mengolah kekayaan ciptaan Allah untuk digunakan
sebagai pelayanan bagi Allah (Kej. 1:27-31).
Karakteristik ini berlaku dalam batas-batas tertentu bagi semua
manusia dalam dunia ini. Karena sebelum jatuh dalam dosa, manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah secara khusus. Dan manusia
yang diciptakan Allah ini adalah sempurna.
"... Allah telah menjadikan manusia yang jujur." (Pengkh. 7:29)
Sebelum kejatuhannya dalam dosa, manusia merupakan gambar dan rupa
Allah yang tanpa dosa. Di taman Eden , Adam dan Hawa hidup secara
harmonis dengan Allah. Mereka berjalan di hadapan Allah tanpa malu.
Paulus menjelaskan tahap ini sebagai:
"... pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya." (Kol. 3:10)
Di bagian lain, Paulus mengatakan bahwa apabila seseorang
diperbaharui menurut karakter Adam yang semula, maka ia telah:
"... diciptakan ... di dalam kebenaran dan kekudusan yang
sesungguhnya. " (Ef. 4:24)
Dari bagian Firman Tuhan ini, ada dua kualitas penting dari manusia
sebelum jatuh dalam dosa yang dapat kita lihat. Pertama, dia memunyai
"pengetahuan yang benar" (Kol. 3:10). Dengan kata lain, Adam dan Hawa
tidak pernah melupakan perbedaan Pencipta dan ciptaan dalam hubungan
dengan pengetahuan mereka. Mereka bergantung pada penyataan Allah akan
diri-Nya sendiri sebagai sumber dari kebenaran mereka, dan mereka
menyamakan semua pemikiran mereka dengan standar dari kebenaran yang
Allah nyatakan. Oleh karena itu, Adam dapat diberi tugas yang sukar,
yakni untuk memelihara taman dan menamai setiap binatang di bumi. Dia
secara sadar tahu akan kebutuhannya untuk mendengarkan Allah dalam
setiap keadaan apabila ia menghendaki pengetahuan yang benar. Sebelum
kejatuhan dalam dosa, pengetahuan manusia akan kebenaran dibarengi
dengan karakter moralitasnya, di mana Adam memiliki "pengetahuan yang
benar dan suci". Adam mengerti bahwa karena sifat dari Pencipta-Nya,
maka ia harus mempelajari apa yang sepatutnya dan yang tidak
sepatutnya dari Allah.
Oleh karena bersandar pada pengetahuan Allah, Adam dan Hawa taat
secara sempurna pada semua perintah Allah dan hidup secara damai
dengan-Nya sebelum jatuh dalam dosa. Sebelum jatuh dalam dosa, dalam
segala keadaan, manusia mengetahui kebenaran dan hidup sesuai dengan
kebenaran itu.
B. Tanpa Dosa dan Fana
Meskipun manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang
sempurna sebelum kejatuhan, namun manusia adalah manusia yang fana dan
terbatas. Allah adalah Allah yang Mahaada (1 Raj. 8:27; Yes. 66:1),
namun manusia terbatas oleh fisiknya dalam keberadaan yang terbatas.
Allah adalah Allah yang Mahakuasa (Maz. 115:3); tidak ada yang dapat
mengatasi atau melampaui kuasa-Nya. Oleh karena itu, sehebat-hebatnya
teknologi mutakhir yang telah dicapai untuk menunjukkan kehebatan
manusia, tetap tidak dapat menandingi kemahakuasaan Allah. Di hadapan
Allah, manusia tetap jauh lebih lemah dan terbatas.
Demikian juga halnya dengan keterbatasan pengetahuan manusia
dibandingkan dengan pengetahuan Allah yang lengkap dan sempurna (Ay.
37:15; Maz. 139:12; Ams. 15:3; Yer. 23:23-24). Sebagaimana penulis
surat Ibrani mengatakan:
"Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya,
sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia dan
kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibr. 4:13)
Bahkan Adam akan setuju dengan Yesaya yang mengatakan:
"Seperti tingginya langit dan bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku
dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. " (Yes. 55:9)
Tentu saja dibandingkan dengan pengetahuan Allah, pikiran manusia
"hanyalah seumpama napas" (Maz. 94:11). Demikianlah manusia terbatas
dalam pengertiannya oleh apa yang Allah nyatakan dan harus puas dengan
pengetahuan yang tidak lengkap dan tidak sempurna.
"Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal-
hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai
selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat
ini." (Ul. 29:29)
Pengertian mengenai keterbatasan pengetahuan manusia membawa kita
kepada hal yang penting dalam diskusi yang berikutnya. Walaupun Adam
tidak mengetahui segala sesuatu, dia tetap memiliki pengetahuan yang
benar (Kol. 3:10). Pengertian manusia akan segala sesuatu yang ia
ketahui dibatasi oleh perspektifnya akan waktu dan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal-hal yang ia ketahui.
Keterbatasan- keterbatasan ini merupakan bagian dari sifat penciptaan
manusia.
Namun, kita harus ingat bahwa sebelum jatuh dalam dosa, pengetahuan
Adam miliki berasal dari Allah dalam ketergantungannya pada penyataan
Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu Adam ketahui, diketahuinya
dengan benar sebab ia datang pada sumber kebenaran untuk memerolehnya,
yaitu Allah. Sangat nyata bahwa keterbatasan manusia tidak membuat ia
tidak mampu untuk mengetahui kebenaran. Sepanjang pengetahuan yang
manusia dapatkan itu berasal dari Allah, pengetahuan itu pasti benar.
Oleh karena keterbatasannya, Adam harus menghadapi misteri dalam
kehidupannya, "hal-hal yang tersembunyi" (Ul. 29:29) yang ia tidak
dapat ketahui. Dari fakta ini, kita dapat melihat bahwa manusia yang
sempurna pun tidak mampu untuk menyusun atau menyimpulkan setiap aspek
dari pengetahuan yang didapatnya ke dalam suatu gambaran lengkap yang
baik dan sempurna; selalu ada titik buntu dalam pemikirannya, yaitu
paradoks-paradoks dan kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dipecahkan
oleh akal pikiran manusia. Namun sebagaimana besarnya misteri ini,
pengetahuan manusia dalam tahap ini tetap dapat diperhitungkan serta
dipertanggungjawabk an kepastian dan kebenarannya.
Kepastian dan keyakinan Adam terletak pada penyataan Allah, tidak pada
kemampuannya untuk mengetahui yang terpisah dari pengetahuan Allah.
Pengetahuan Allah yang sempurna dalam segala sesuatu mengabsahkan
pengetahuan manusia yang terbatas sepanjang manusia bergantung pada
Allah. Mari kita lihat contoh dari suatu misteri yang kita hadapi atau
temui pada zaman ini.
Inkarnasi dari Juru Selamat kita, Tuhan YESUS KRISTUS, merupakan suatu
hal yang penuh dengan misteri. Kita mengakui bahwa Ia adalah 100%
Allah dan juga 100% manusia. Kita dapat mengerti kesejatian dari
ke-Tuhanan-Nya dan kesejatian dari kemanusiaan- Nya sampai pada taraf
tertentu, namun jika kita mencoba untuk menyelidiki lebih lanjut
implikasi dari pengajaran ini, kita akan terbentur pada batas
kemampuan kita dalam memahami hal tersebut. Misalnya, dapatkah kita
menjelaskan bagaimana YESUS "bertambah dalam hikmat-Nya" (Luk. 2:52)
apabila Ia adalah Allah yang Mahatahu? Apakah kita dapat menjelaskan
bagaimana YESUS yang adalah Allah dapat mati di atas kayu salib? Kita
dapat berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaan ini, namun orang yang
jujur segera akan menyadari bahwa pertanyaan-pertanya an ini, juga
pertanyaan-pertanya an lain yang semacamnya, adalah di luar batas
kemampuan manusia untuk mengerti.
Meski kita tidak dapat menyelami semua konsep ini, namun kita dapat
yakin bahwa YESUS adalah 100% Allah dan juga 100% manusia, dan bahwa
Ia bertambah dalam hikmat dan kemudian Ia mati. Keyakinan ini bukan
bergantung pada ketidakmampuan kita untuk mengerti secara tuntas,
melainkan karena kita percaya pada penyataan Allah.
Semakin kita mengerti akan kebenaran kristiani, kita akan menemukan
bahwa di akhir setiap pengajaran dari Firman Tuhan, terlihat fakta
ketidakmampuan manusia untuk menyelami secara tuntas konsep-konsep
dalam hubungannya dengan konsep-konsep kebenaran yang lain. Ada banyak
hal-hal yang kelihatannya berlawanan satu dengan yang lain dalam
kebenaran kristiani, namun hal ini seharusnya tidak boleh menyebabkan
kita meragukan pengajaran Alkitab. Ada dua alasan mengapa kita tidak
boleh meragukan pengajaran Alkitab.
Pertama, hal itu seharusnya membuat kita sadar akan keterbatasan diri
kita. Manusia harus menyadari keberadaan mereka sebagai makhluk
ciptaan dan bersama Paulus menyatakan kalimat berikut ini:
"O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!
Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan -Nya dan sungguh tak
terselami jalan-jalan- Nya!" (Rom. 11:33)
Kedua, Alkitab tidak seharusnya diragukan pada saat kita tidak dapat
mencocokkan kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lain. Penyataan
Alkitab merupakan pemikiran Allah di mana bagi-Nya tidak ada satu hal
pun yang bersifat misteri. Allah dapat menuntaskan konsep-konsep yang
paling sukar, yang tidak dapat dituntaskan oleh pikiran manusia. Tidak
ada satu hal pun yang merupakan misteri bagi Allah; Ia mengetahui
segala sesuatu dengan sempurna. Namun, misteri merupakan keterbatasan
dari makhluk ciptaan, bukan Pencipta. Sepanjang kita bergantung
kepada-Nya dalam pengetahuan kita, misteri yang paling besar pun tidak
akan menghalangi kita dari kebenaran.
C. Logika, Allah, dan Manusia
Suatu hal yang terus-menerus timbul dalam suatu diskusi dan yang
memengaruhi apologetika alkitabiah adalah peranan logika dalam
hubungan antara Allah dan manusia. Dalam pelajaran ini, kita akan
membatasi pada sebagian kecil dari pertanyaan-pertanya an yang ada.
Adam diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan mengembangkan
pikirannya, hal ini mencerminkan hikmat Allah dan juga yang
membedakannya dengan binatang (2 Pet. 2:12, Yud. 10). Kita telah
mempelajari bahwa di taman Eden , Adam telah menggunakan akal budinya
dalam ketergantungan- Nya pada Allah. Dia membangun pola berpikir yang
sesuai dengan petunjuk Allah. Adam pasti menggunakan logika meskipun
dalam bentuk yang sederhana, dan ia menggunakannya dalam ketaatannya
pada Allah. Ia tidak pernah mengabaikan ketergantungannya pada Allah
dengan berpikir bahwa logikanya mampu memberikan penjelasan dan
pengetahuan secara terpisah dari Allah. Akibatnya, dalam menggunakan
kemampuannya, Adam menggunakan akal budi yang selalu tunduk pada
keterbatasan dan pimpinan penyataan Allah. Allah selalu dilihat
sebagai dasar dari kebenaran dan sumber dari kebenaran, karena
keadaan Adam pada saat itu adalah sebagai manusia yang diciptakan
menurut gambar Allah dan tanpa dosa.
Dari peran akal budi yang berdasarkan logika, yang dimiliki manusia
sebelum dosa masuk ke dalam dunia, maka ada beberapa pengamatan yang
dapat kita lakukan. Pertama, menggunakan akal budi dan mengembangkan
pikiran itu bukanlah sesuatu yang salah dan jahat. Kekristenan telah
mendapat berbagai macam serangan dari mereka yang mengklaim bahwa
segala sesuatu harus "masuk akal" dan "ilmiah".
Beberapa orang Kristen berpikir bahwa perlindungan satu-satunya adalah
dengan cara menolak ilmu pengetahuan dan pemakaian akal budi serta
menganggap kedua hal itu sebagai sesuatu yang jahat dan saling
bertentangan. Penggunaan akal budi bukan merupakan sesuatu yang jahat
sebab di dalam taman Eden , Adam juga menggunakan akal budi dan
mengembangkan pikirannya. Adamlah yang menamai binatang-binatang dan
yang memelihara taman. Ia tidak menghilangkan logikanya dalam
melaksanakan kehidupannya sehari-hari.
Yang perlu diperhatikan adalah bila manusia memakai akal budi dan
mengembangkan pikirannya secara berdiri sendiri atau terlepas dari
Allah, hal ini akan memimpinnya kepada ketidakbenaran dan kesalahan.
Tetapi apabila kedua hal itu dipergunakan dalam ketergantungan pada
penyataan Allah, kebenaran akan ditemukan. Menggunakan akal budi dan
mengembangkan pikiran itu sendiri tidaklah berlawanan dengan iman atau
kebenaran.
Kedua, logika tidaklah berada di atas fakta perbedaan antara Pencipta
dengan ciptaan. Saat kita berbicara tentang manusia dalam menggunakan
akal budinya, kita harus ingat bahwa logika hanya merupakan refleksi
dari hikmat dan pengetahuan Allah. Meskipun dalam Firman Tuhan, Allah
merendahkan diri dan menyatakan diri-Nya dengan istilah yang sesuai
dengan daya pikir, logika manusia, namun itu tidak berarti logika
manusia berada di atas atau sejajar dengan Allah dan juga tidak
merupakan bagian dari keberadaan Allah.
Logika dalam bentuk-bentuk yang paling kompleks dan tajam tetap
berada dalam ruang lingkup ciptaan dan kualitasnya sesuai dengan
kualitas manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukan
dengan kualitas yang sama seperti Allah.
Oleh karena logika merupakan bagian dari ciptaan, maka logika memiliki
keterbatasan. Pertama terlihat dari logika sebagai sistem yang selalu
dalam proses berubah dan berkembang. Bahkan, ada beberapa sistem
logika yang dalam titik tertentu, berlawanan satu sama lain. Tidak ada
definisi dari "kontradiksi" yang diakui secara universal. Meskipun
semua manusia dapat saja sepakat dalam satu sistem untuk mengembangkan
suatu pemikiran, logika manusia tidak dapat dipergunakan sebagai hakim
untuk menentukan kebenaran dan ketidakbenaran.
Kekristenan, pada hal-hal tertentu, dapat dikatakan masuk akal dan
logis, namun logika menemui batas kemampuan pada saat diperhadapkan
dengan hal-hal seperti inkarnasi dari KRISTUS dan doktrin Tritunggal.
Logika bukanlah Allah dan tidak boleh diberikan penghormatan.
Penghormatan hanya boleh diberikan kepada Allah saja. Kebenaran hanya
ditemukan pada penghakiman Allah, bukan pada pengadilan logika.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati untuk menghindari dua sisi
ekstrim yang biasanya diambil dalam hubungannya dengan penggunaan akal
budi dan logika. Di satu pihak, ada manusia yang menolak menggunakan
akal budi dan setuju pada iman yang buta. Di lain pihak, ada manusia
yang memberikan logika sejumlah ruang untuk berdiri sendiri dan
terlepas dari Allah. Kedua posisi tersebut tidak sesuai dengan
karakter manusia sebelum kejatuhan. Manusia diciptakan sebagai makhluk
yang dapat berpikir dan mengembangkan pikirannya, namun ia diharapkan
menyadari keterbatasan pikirannya dan ketergantungan logikanya pada
Penciptanya.
Karakter manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia merupakan dasar
dari tugas berapologetika. Meskipun pada saat ini tidak ada seorang
pun di dunia yang sama sekali lepas dari dosa, namun ada kualitas
manusia sebelum kejatuhan yang terbawa sampai hari ini. Pada saat kita
membela iman Kristen, kita berhubungan dengan laki-laki dan perempuan
keturunan Adam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memunyai
pengertian yang kuat akan keadaan manusia sebelum kejatuhan.
Judul buku: Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
Judul artikel: Gambar yang Orisinal
Penulis: Anthony A. Hoekama
Penerbit: Momentum, Surabaya 2003
Halaman: 105 -- 106
GAMBAR YANG ORISINAL
Untuk memahami gambar Allah dalam kandungan alkitabiah yang
sepenuhnya, kita harus melihatnya di dalam terang penciptaan,
kejatuhan dan penebusan. Sebelum manusia jatuh dalam dosa, kita
melihat gambar yang orisinal. Meskipun kita tidak tahu bagaimana
persisnya gambar Allah menyatakan diri pada tahap itu,[32] kita bisa
mengasumsikan bahwa pasangan manusia pertama mencitrakan Allah dengan
taat dan tanpa dosa. Menurut Augustinus, manusia pada saat itu "bisa
tidak berdosa."[33] Maka kita juga bisa mengasumsikan bahwa pada tahap
ini, Adam dan Hawa menjalani ketiga bentuk relasi yang telah kita
bahas di atas dengan taat dan tanpa dosa: di dalam menyembah dan
melayani Allah, di dalam mengasihi dan melayani sesama, dan di dalam
berkuasa dan memelihara wilayah ciptaan di mana Allah telah
menempatkan mereka.
Tetapi, masih diperlukan komentar tambahan. Meskipun pasangan
manusia pertama ini tidak berdosa dan hidup dalam apa yang sering
disebut para teolog sebagai "tahap integritas" (stage of
integrity), mereka belum tiba di akhir perjalanan. Mereka belum
menjadi penyandang gambar Allah yang telah berkembang sepenuhnya;
mereka seharusnya maju ke satu tahap yang lebih tinggi, di mana
ketidakberdosaan mereka tidak akan bisa hilang. Pada tahap yang
pertama ini, masih ada kemungkinan untuk berdosa. Bavinck
menyatakannya sebagai berikut:
Adam tidak berdiri di akhir melainkan di awal perjalanan; ia berada
dalam kondisi yang bersifat sementara, sehingga kondisi ini tidak
bisa tetap bertahan seperti itu dan harus berlalu, baik menuju
tahap kemuliaan yang lebih tinggi atau menuju kejatuhan dalam dosa
dan maut.[34]
Selanjutnya, menurut Bavinck, fakta bahwa Adam dan Hawa masih harus
hidup dengan kemungkinan dapat berdosa, bisa disebut sebagai batasan
dari gambar Allah:
Adam ... memiliki posse non peccare [bisa tidak berdosa] tetapi
belum memiliki non posse peccare [tidak bisa berdosa]. Dia masih
hidup di dalam kemungkinan dapat berdosa ... dia belum memiliki
kasih yang sempurna dan tidak berubah yang meniadakan semua rasa
takut. Jadi, para teolog Reformed benar saat menegaskan bahwa
kemungkinan ini, yaitu kemungkinan untuk berubah-ubah dan kemampuan
untuk berbuat dosa ini ... bukanlah suatu aspek atau isi dari
gambar Allah, melainkan batasan, limitasi, atau ujung dari gambar
Allah.[35]
Re: KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA
Hal ini jelas: integritas yang di dalamnya Adam dan Hawa bereksistensi
sebelum Kejatuhan bukanlah keadaan sempurna yang telah digenapkan dan
tak mungkin berubah. Manusia memang diciptakan menurut gambar Allah
pada mulanya, tetapi ia belum menjadi "produk akhir." Dia masih perlu
bertumbuh dan diuji. Allah hendak menetapkan apakah manusia akan taat
kepada-Nya secara bebas dan sukarela. Untuk alasan inilah Allah
memberikan sebuah "perintah larangan" kepada Adam, "Semua pohon dalam
taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan
buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati"
(Kej. 2:16-17). Jika Adam dan Hawa menaati perintah ini, siapa yang
tahu akan menjadi seperti apa sejarah umat manusia. Tetapi, sangat
disesalkan, mereka tidak taat sehingga mereka menjatuhkan diri mereka
dan seluruh umat manusia yang lahir setelah mereka, ke dalam keadaan
berdosa.
WATAK SEMULA MANUSIA
Alkitab menggambarkan keadaan mula-mula manusia dengan memakai
ungkapan "menurut gambar dan rupa Allah" (Kej. 1:26-27; 5:1; 9:6;
1Kor. 11:7; Yak. 3:9). Nampaknya tidak ada perbedaan berarti di antara
kata-kata Ibrani "gambar" dan "rupa", sehingga kita tidak perlu
mencari-cari perbedaan itu. Namun perlu kiranya kita membahas apakah
gambar dan rupa itu.
A. KESAMAAN ITU BUKAN KESAMAAN JASMANIAH
------------ --------- --------- --------- -
Allah adalah Roh sehingga tidak memiliki anggota-anggota tubuh seperti
manusia. Beberapa kalangan menggambarkan Allah sebagai manusia yang
agung dan luhur, namun pandangan semacam ini salah. Mazmur 17:15
mengatakan, "Pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan rupa-Mu."
Namun ayat ini tidak memaksudkan keadaan jasmaniah; lebih tepat kalau
dikatakan bahwa ayat ini menurut konteksnya berbicara mengenai
persamaan dalam kebenaran (lihat 1 Yoh. 3:2-3). Musa telah melihat
"rupa Tuhan" (Bil. 12:8), walaupun wajah Allah tidak dapat dilihat
(Kel. 33:20). Sekalipun manusia tidak memiliki kesamaan jasmaniah
dengan Allah karena Allah tidak memiliki tubuh jasmaniah, manusia
memang memiliki kesamaan tertentu karena manusia diciptakan dalam
keadaan sehat walafiat, tidak ada bibit-bibit penyakit apa pun di
dalam dirinya, dan tidak bisa mati. Nampaknya pada mulanya Allah
merencanakan supaya manusia makan dari tumbuh-tumbuhan saja (Kej.
1:29), tetapi kemudian Ia mengizinkan daging hewan untuk dimakan (Kej.
9:3). Menarik untuk diperhatikan bahwa ketika Allah mengizinkan
manusia memakan daging, Allah samasekali tidak memberikan peraturan
mengenai hewan haram dan hewan halal meskipun perbedaan antara yang
haram dan yang halal sudah diketahui (Kej. 7:2). Peraturan itu diberi
kemudian untuk mengatur perilaku satu bangsa saja dan hanya berlaku
untuk jangka waktu tertentu (Imamat 11; Markus 7:19; Kisah 10:15;
Roma 14:1-12; Kolose 2:16).
B. KESAMAAN ITU ADALAH KESAMAAN MENTAL
------------ --------- --------- --------
Hodge mengatakan, Allah adalah Roh, jiwa manusia adalah roh juga.
Sifat-sifat hakiki dari roh ialah akal budi, hati nurani, dan
kehendak. Roh adalah unsur yang mampu bernalar, bersifat moral, dan
oleh karena itu juga herkehendak bebas. Ketika menciptakan manusia
menurut gambar-Nya Allah menganugerahkan kepadanya sifat-sifat yang
dimiliki-Nya sendiri sebagai roh. Dengan demikian manusia berbeda dari
semua makhluk lain yang mendiami bumi ini, serta berkedudukan jauh
lebih tinggi daripada mereka. Manusia termasuk golongan yang sama
dengan Allah sendiri sehingga ia mampu berkomunikasi dengan
Penciptanya. Kesamaan sifat antara Allah dan manusia ini ... Juga
merupakan keadaan yang diperlukan untuk mengenal Allah dan karena itu
merupakan dasar dari kesalehan kita. Bila kita tidak diciptakan
menurut gambar Allah, kita tidak dapat mengenal Dia. Kita akan sama
dengan binatang-binatang yang akhirnya binasa.
Pernyataan Hodge ini dikuatkan oleh Alkitab. Dalam pengudusan, manusia
"terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar
menurut gambar Khaliknya" (Kol. 3:10). Tentu saja, pembaharuan ini
dimulai pada saat kelahiran baru terjadi, tetapi dilanjutkan dalam
pengudusan. Bahwa manusia diberi kemampuan intelektual yang tinggi
tersirat dalam perintah untuk mengusahakan taman Eden serta
memeliharanya (Kej. 2:15), juga perintah untuk menguasai bumi beserta
segala isinya (Kej. 1:26, 28), dan dalam pemyataan bahwa manusia
memberi nama kepada segala binatang di bumi (Kej. 2:19-20). Kesamaan
dengan Allah ini tidak dapat dihapus, dan karena kesamaan tersebut
memungkinkan manusia memperoleh penebusan, maka kehidupan manusia yang
belum dilahirkan baru juga berharga (Kej. 9:6; 1 Kor. 11:7; Yak. 3:9).
Betapa berbcdanya gambaran ini tentang keadaan mula-mula manusia
dengan pandangan evolusi, yang menganggap manusia yang pertama hanya
sedikit di atas binatang liar yang tidak hanya bodoh, tetapi
sama sekali tanpa kemampuan mental apa pun.
C. KESAMAAN ITU ADALAH KESAMAAN MORAL
------------ --------- --------- -------
Beberapa pihak telah membuat kekeliruan karena menganggap bahwa gambar
dan rupa Allah yang menjadi karakter asli manusia ketika diciptakan
itu hanya terdapat dalam sifat rasionalnya; sedangkan yang lain
membatasi kesamaan itu pada kekuasaan manusia saja. Yang lebih tepat
ialah bahwa kesamaan itu terdapat dalam sifat rasional manusia dan
dalam persesuaian moralnya dengan Allah. Hodge mengatakan, Manusia
adalah gambar Allah, sehingga membawa dan mencerminkan kesamaan ilahi
di antara penghuni-penghuni lain di bumi, karena manusia itu roh,
unsur yang cerdas dan berkehendak bebas; dan oleh karena itu sudah
sepantasnya manusia ditetapkan untuk menguasai bumi. Inilah yang
biasanya disebut oleh para teolog Reformasi sebagai gambar Allah yang
hakiki dan bukan yang insidental.
Bahwa manusia memiliki kesamaan semacam itu dengan Allah sudah jelas
dalam Alkitab. Bila dalam pembaharuan manusia baru itu "diciptakan
menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang
sesungguhnya" (Ef. 4:24), maka pastilah tepat untuk menyimpulkan bahwa
pada mulanya manusia memiliki baik kebenaran maupun kekudusan. Konteks
Kejdian 1 dan 2 membuktikan hal ini. Hanya atas dasar inilah manusia
dapat bersekutu dengan Allah, yang tidak dapat memandang kelaliman
(Hab. 1:13). Pengkhotbah 7:29 mendukung pendapat ini. Di situ tercatat
bahwa Allah telah menciptakan "manusia yang jujur". Kenyataan ini
dapat juga kita simpulkan dari Kejadian 1:31 yang mengatakan bahwa
"Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik." Kata
"segala" mencakup juga manusia sehingga pemyataan itu tidaklah benar
apabila manusia diciptakan dengan keadaan moral yang tidak sempurna.
Apakah yang dimaksudkan dengan kebenaran dan kesucian mula-mula? Yang
jelas, kebenaran dan kesucian mula-mula bukanlah hakikat manusia,
karena dengan demikian watak manusia pasti sudah tidak ada lagi ketika
ia berbuat dosa. Kekudusan dan kebenaran mula-mula tersebut juga bukan
pemberian dari luar, yaitu sesuatu yang ditambahkan kepada manusia
setelah ia diciptakan, karena dikatakan bahwa manusia memiliki gambar
ilahi itu ketika diciptakan, dan bukan karena dikaruniakan kepadanya
setelah diciptakan. Shedd menerangkannya sebagai berikut, Kekudusan
bukanlah sekadar keadaan tidak berdosa. Tidaklah memadai untuk
mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan tidak berdosa. Hal
ini dapat dikatakan apabila manusia samasekali tidak mcmiliki watak
yang moral entah itu benar atau salah. Manusia diciptakan tidak hanya
sebagai makhluk yang tidak berdosa secara negatif, tetapi juga sebagai
makhluk kudus secara positif. Keadaan manusia yang diperbaharui adalah
pemulihan keadaannya yang semula; dan kebenaran manusia yang telah
diperbaharui disebut dalam Alkitab sebagai kata 'theon', Ef. 4:21, dan
sebagai "kekudusan yang sesungguhnya" , Ef. 4:24. Ini merupakan watak
yang positif, dan bukan sekadar keadaan tidak berdosa saja. Kadang-
kadang hal ini disebut sebagai kekudusan yang "diciptakan bersama",
sebagai berlawanan dengan kekudusan yang menurut beberapa orang telah
dianugerahkan oleh Allah kepada manusia setelah ia diciptakan.
Kekudusan mula-mula ini dapat diartikan sebagai kecenderungan kasih
sayang dan kemauan manusia, sekalipun disertai kekuatan pilihan yang
jahat, ke arah pengenalan yang rohani akan Allah serta hal-hal rohani
lainnya. Kekudusan mula-mula ini berbeda dengan kekudusan yang
disempurnakan dari orang-orang saleh, sebagaimana kasih sayang yang
naluriah dan keadaan tidak berdosa yang kekanak-kanakan adalah berbeda
dari kckudusan yang telah dimatangkan dan diperkuat oleh pencobaan.
D. KESAMAAN ITU ADALAH KESAMAAN SOSIAL
------------ --------- --------- --------
Sifat Allah yang sosial itu didasarkan pada kasih sayang-Nya. Yang
menjadi sasaran kasih sayang-Nya adalah Oknum-Oknum lain di dalam
ketritunggalan- Nya. Karena Allah memiliki sifat sosial, maka Ia
menganugerahkan kepada manusia sifat sosial. Akibatnya, manusia
senantiasa mencari sahabat untuk bersekutu dengannya. Pertama-tama,
manusia menemukan persahabatan ini dengan Allah sendiri. Manusia
"mendengar bunyi langkah Tuhan Allah yang berjalan-jalan dalam taman
itu pada waktu hari sejuk" (Kej. 3:8). Hal ini menyatakan secara tak
langsung bahwa manusia berkomunikasi dengan Allah Penciptanya. Allah
telah menciptakan manusia untuk diri-Nya sendiri, dan manusia
menemukan kepuasan tertinggi dalam persekutuan dengan Tuhannya. Akan
tetapi, di samping itu Allah juga menganugerahkan persahabatan
manusiawi. Ia menciptakan wanita, karena, sebagaimana dikatakan-Nya
sendiri, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kej. 2:18).
Agar persekutuan ini menjadi sangat mesra, Ia menciptakan perempuan
dari tulang rusuk laki-laki. Adam mengakui bahwa Hawa adalah tulang
dari tulangnya dan daging dari dagingnya, maka dinamakannya
"perempuan". Dan oleh sebab hubungan yang begitu intim di antara
keduanya, "seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej.
2:24). Jelaslah bahwa manusia diciptakan dengan sifat sosial,
sebagaimana Allah mennpunyai sifat sosial. Kasih dan perhatian sosial
manusia bersumber langsung dari unsur ini dalam watak manusia.
Judul buku: Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
Judul artikel: Ajaran Perjanjian Lama
Pengarang: Anthony A. Hoekhema
Penerbit: Momentum, 2003
Halaman: 15 -- 20
AJARAN PERJANJIAN LAMA
Perjanjian Lama tidak banyak berbicara tentang gambar Allah.
Konsep ini dibicarakan secara eksplisit hanya dalam tiga bagian
Perjanjian Lama, semuanya di kitab Kejadian: 1:26-28; 5:1-3; dan 9:6.
Orang juga bisa berpendapat bahwa Mazmur 8 mendeskripsikan apa yang
dimaksudkan dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah, tetapi
frasa "gambar Allah" tidak ada di sana . Kita akan memerhatikan keempat
bagian Perjanjian Lama ini secara berurutan.
Kejadian 1:26-28 berbunyi:
(26) Berfirmanlah Allah: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut
dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan
atas se- gala binatang melata yang merayap di bumi." (27) Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
(28) Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-
burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Kejadian 1 mengajarkan keunikan penciptaan manusia, yakni bahwa
sementara Allah menciptakan setiap hewan "menurut jenisnya" (ay.
21,2425), hanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
(ay. 26-27). Herman Bavinck menyatakannya sebagai berikut:
Seluruh dunia merupakan penyataan Allah, cermin dari nilai-nilai dan
kesempurnaan- Nya; dengan cara dan menurut ukurannya masing-masing,
setiap makhluk merupakan perwujudan dari pemikiran ilahi. Tetapi di
antara semua ciptaan, hanya manusia yang merupakan gambar Allah,
penyataan yang tertinggi dan terkaya akan Allah, dan oleh karena
itu, me rupakan kepala dan puncak dari seluruh penciptaan.
Hal pertama yang begitu menyedot perhatian kita pada saat membaca
Kejadian 1:26 adalah kata kerja utamanya yang berbentuk jamak,
"Berfirmanlah Allah: `Baiklah Kita menjadrkan manusia...." Ini
mengindikasikan bahwa penciptaan manusia memiliki kelas tersendiri,
karena ungkapan ini tidak dipakai untuk ciptaan lain yang mana pun.
Banyak teolog telah mencoba untuk menjelaskan bentuk jamak ini.
Penjelasan bahwa hal ini merupakan "kemuliaan dalam bentuk jamak"
sangat tidak mungkin, karena bentuk jamak seperti ini tidak ditemukan
di bagian Alkitab lain. Yang lain beranggapan bahwa Allah di sini
tengah berbicara dengan para malaikat. Kita juga harus menolak
penafsiran ini karena Allah tidak pernah dikatakan meminta masukan
dari malaikat, karena mereka yang juga dicipta tak bisa menciptakan
manusia, dan karena manusia tidak dijadikan menurut rupa malaikat.
Kita harus menafsirkan bentuk jamak ini mengindikasikan bahwa Allah
tidak bereksistensi sebagai keberadaan yang tersendiri, melainkan
sebagai keberadaan yang memiliki persekutuan dengan "yang lain." Meski
kita tak bisa mengatakan bahwa di bagian ini kita memiliki ajaran yang
jelas tentang Trinitas, kita bisa mempelajari bahwa Allah
bereksistensi sebagai satu "pluralitas. " Apa yang dinyatakan secara
tidak langsung di sini akan dikembangkan lebih lanjut dalam Perjanjian
Baru menjadi dokrin Trinitas.
Juga harus diperhatikan bahwa ada sebuah perencanaan yang mendahului
penciptaan manusia: "Marilah Kita menjadikan manusia...." Hal ini
sekali lagi menunjukkan keunikan dalam penciptaan manusia. Perencanaan
ilahi seperti ini tidak pernah dikaitkan dengan ciptaan lain.
Kata yang diterjemahkan sebagai manusia dalam ayat ini berasal dari
kata Ibrani adam. Kata ini kadang dipakai sebagai nama diri, Adam
(lihat, misalnya, Kejadian 5:1, "Inilah daftar keturunan Adam").
Tetapi, kata ini bisa juga berarti manusia pada umumnya. Dalam
pengertian ini, kata tersebut memiliki makna yang sama dengan kata
Jerman Mensch: bukan laki-laki dalam keberbedaannya dengan perempuan,
melainkan manusia dalam keberbedaannya dari ciptaan yang non manusia,
yaitu manusia sebagai laki-laki atau perempuan, atau manusia sebagai
laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian Inilah kata tersebut dipakai
di dalam Kejadian 1:26 dan 27. Kadang kata adam juga dipakai untuk
menunjuk umat manusia (lihat misalnya Kejadian 6:5, "ketika dilihat
TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi"). Karena berkat yang
terdapat di Kejadian 1:28 teraplikasikan kepada seluruh umat manusia,
kita bahkan bisa mengatakan bahwa ayat 26 dan 27 mendeskripsikan
penciptaan umat manusia, meski kita kemudian harus membatasi pemyataan
ini sebagai berikut: Allah menciptakan lakilaki dan perempuan itu,
yang mana dari keduanyalah semua umat manusia akan dilahirkan.
Kita sekarang sampai pada kata-kata yang penting: "menurut gambar dan
rupa Kita." Kata yang diterjemahkan sebagai gambar adalah tselem, dan
yang diterjemahkan sebagai rupa adalah demuth. Di dalam bahasa Ibrani
tak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani
hanya berbunyi "marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa
Kita." Baik Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata dan, sehingga
memberi kesan bahwa "gambar" dan "rupa" mengacu kepada dua hal yang
berbeda. Tetapi, teks bahasa Ibrani memperjelas bahwa tak ada
perbedaan yang esensial di antara keduanya: "menurut gambar Kita"
hanyalah suatu cara lain untuk mengatakan "menurut rupa Kita." Hal ini
akan terbukti dengan menelaah pemakaian kedua kata ini di bagian ini
dan di dua bagian kitab Kejadian lainnya. Dalam Kejadian 1:26, baik
kata gambar maupun rupa dipakai; dalam Kejadian 1:27 hanya kata gambar
yang dipakai. Dalam Kejadian 5:3 kedua kata dipakai, tetapi kali ini
dengan urutan yang berbeda: menurut rupa dan gambar [Adam]. Dan sekali
lagi dalam Kejadian 9:6 hanya kata gambar yang dipakai. Jika kata-kata
ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan aspek-aspek manusia yang
berbeda, maka keduanya takkan dipakai dengan cara seperti yang baru
kita lihat, yaitu bisa dipertukarkan.
Tetapi, meski kedua kata ini biasa dipakai sebagai sinonim, kita bisa
menemukan sedikit perbedaan di antara keduanya. Kata Ibrani untuk
gambar, tselem, diturunkan dari akar kata yang bermakna "mengukir"
atau "memotong." Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan
ukiran berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada
penciptaan manusia di dalam Kejadian 1, kata tselem ini
mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia
merupakan suatu representasi Allah. Kata Ibrani untuk rupa, demuth di
dalam Kejadian 1 bermakna "menyerupai. " Jadi, orang bisa berkata
bahwa kata demuth di Kejadian 1 mengindikasikan bahwa gambar tersebut
juga merupakan keserupaan, "gambar yang menyerupai Kita." Kedua kata
itu memberi tahu kita bahwa manusia merepresentasikan Allah dan
menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.
Bagaimana manusia menyerupai Allah tidak dinyatakan secara spesifik
dan eksplisit di dalam kisah penciptaan, meskipun kita bisa melihat
bahwa keserupaan-keserupa an tertentu dengan Allah terimplikasikan di
sana. Misalnya, dari Kejadian 1:26 kita bisa menarik kesimpulan bahwa
kekuasaan atas binatang dan atas seluruh bumi merupakan satu aspek
dari gambar Allah. Di dalam menjalankan kekuasaan ini manusia menjadi
serupa dengan Allah, karena Allah memiliki kuasa yang tertinggi dan
ultimat atas bumi. Dari ayat 27 kita bisa menyimpulkan bahwa aspek
lain dari gambar Allah menyangkut perihal penciptaan manusia sebagai
laki-laki dan perempuan. Karena Allah adalah Roh (Yoh. 4:24), maka
kita tak boleh menyimpulkan bahwa keserupaan dengan Allah dalam hal
ini ditemukan di dalam perbedaan fisik antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan. Keserupaan ini harus ditemukan di dalam fakta bahwa laki-
laki memerukan pendampingan perempuan, bahwa manusia merupakan makhluk
sosial, bahwa kaum perempuan melengkapi kaum laki-laki dan kaum laki-
laki melengkapi kaum perempuan. Dalam hal ini manusia mencerminkan
Allah, yang bereksistensi bukan sebagai Keberadaan yang terasing,
melainkan berada di dalam persekutuan- persekutuan yang pada tahap
penyataan selanjutnya digambarkan sebagai persekutuan antara Bapa,
Anak dan ROH KUDUS. Dari fakta bahwa Allah memberkati umat manusia dan
memberikan mandat kepada mereka (ay. 28), kita bisa menyimpulkan bahwa
umat manusia juga menyerupai Allah dalam hal mereka adalah keberadaan
yang berpribadi dan bertanggung jawab, yang bisa diajak berbicara oleh
Allah dan yang bertanggung jawab kepada Allah sebagai Pencipta dan
Penguasa atas mereka. Sebagaimana Allah di sini dinyatakan sebagai
satu Pribadi (di kemudian hari di dalam sejarah penyataan, hal ini
diperluas menjadi tiga Pribadi) yang mampu membuat keputusan dan
memerintah, maka manusia adalah pribadi yang juga mampu membuat
keputusan dan memerintah.
Sementara meneruskan penelaahan kita terhadap Kejadian 1:26-28, kita
melihat berkat Allah bagi manusia dalam ayat 28 (sebagaimana ayat 22
menunjukkan berkat Allah bagi binatang). Bagian terakhir dari berkat
ini sangat mirip dengan apa yang dikatakan mengenai manusia dalam
ayat 26, "supaya mereka berkuasa." Hanya saja kata kerja di sini
berbentuk orang kedua jamak dan ditujukan kepada orangtua pertama
kita. Kata-kata mengenai kekuasaan manusia ini didahului oleh kata-
kata yang tidak ditemukan dalam ayat 26, "Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi." Perintah untuk beranak cucu dan
bertambah banyak mengimplikasikan lembaga pernikahan, yang
penetapannya dikisahkan dalam Kejadian 2:18-24.
Dalam memberikan berkat-Nya, Allah berjanji akan memampukan manusia
untuk berkembang biak dan menghasilkan keturunan yang akan memenuhi
bumi; Dia juga berjanji akan memampukan mereka menaklukkan bumi dan
berkuasa atas binatang-binatang dan atas bumi itu sendiri. Kata-kata
ini merupakan berkat, tetapi juga mengandung perintah atau mandat.
Allah memerintahkan manusia untuk beranak cucu dan berkuasa. Ini
secara umum disebut mandat budaya: perintah untuk memerintah bumi
atas nama Allah dan membangun budaya yang memuliakan Allah.
Sebelum kita beralih ke bagian teks berikutnya, ada satu hal lagi yang
perlu dicatat. Ayat 31 berbunyi, "Maka Allah melihat segala yang
dijadikanNya itu, sungguh amat baik." "Segala yang dijadikan-Nya" ini
mencakup juga manusia. Maka, saat manusia bermula dari tangan Sang
Pencipta, ia tidak rusak, bobrok, atau berdosa; manusia berada dalam
kondisi berintegritas, tidak bersalah, dan kudus. Apa pun yang
terdapat dalam diri manusia saat ini, yang jahat atau menyimpang,
bukan merupakan bagian dari penciptaannya yang semula. Saat
diciptakan, manusia sangat baik adanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
https://kitabhenokh.wordpress.com/2018/10/24/peperangan-satan-merusak-gambar-elohim-gambar-asli-yang-akan-dipalsukan-satan/
BalasHapus